Cerita cita cita?
Teringat sekali, dari kecil aku ingin sekali menjadi guru. Bukan tanpa sebab, karena kebetulan bapak berprofesi sebagai guru.
Dari kecil juga aku melihat bapak, setiap pagi, berpakaian rapi lalu berangkat ke sekolah, pagi sekali, dan masih lekat di ingatan, secara tidak langsung aku meniru kebiasaan itu. Saat sudah masuk sd, aku harus berangkat pukul setengah tujuh, jika lebih dari itu, aku malu dan marah. Sebab takut terlambat. Aku juga baru bisa menali sepatuku sendiri saat aku kelas 1 sd, dengan kaos kaki setengah betis membalut kakiku.
Aku juga kagum dengan upacara bendera yang rutin diadakan setiap hari Senin. Orangnya banyak, barisannya rapi dan lurus, dan juga orang orangnya mengenakan topi, kecuali Bapak dan Ibu guru.
Banyak sekali kegiatan kegiatan akademik yang tak sengaja terekam oleh kepalaku. Baik dirumah maupun di sekolah. Selain itu, aku hanya anak kecil, cengeng, yang hidup di pinggiran Kota Gunungkidul. Hanya memiliki sedikit akses menjamah dunia luar.
Bapak dulu sering mengajakku ke sekolahannya, sekedar untuk melihatnya melatih ekstrakulikuler voli. Ingat betul dulu aku menangis karena tak sengaja terkena bola voli, padahal tak terlalu keras juga, memang dasarnya cengeng. Juga bapak sering mengenalkan aku dengan teman temannya, yang juga kebanyakan guru.
Karena itu juga mungkin aku kurang referensi dalam hal memilih pekerjaan di masa depan. Sampai setiap disuruh menulis cita cita, aku hanya punya satu jawaban, guru. Mungkin akan beda cerita kalau bapakku memiliki sirkel pergaulan yang lebih luas, mungkin dengan pengusaha, pedagang, juragan, arsitek, atau bahkan seniman.
Lalu, sampai pada akhirnya saat aku masuk SMA, kelas 11 atau 12 aku lupa, guru geografiku, Bapak Zulkarnain, atau akrab dipanggil Pak Zul, menanyaiku tentang cita citaku. Ya, dengan polos saja kujawab guru, kalau gak guru biologi seperti bapak, ya guru agama, karena aku dari kecil sudah ikut tpa, dan berkelanjutan sampai sekarang. Lalu ditanya, mau kuliah di universitas mana, dan dengan polosnya lagi kujawab kalau mau kuliah di UGM.
Teman teman sontak tertawa, aku juga tidak tahu apa yang ditertawakan. Setelah itu Pak Zul memberitahuku bahwa di UGM itu tidak ada jurusan pendidikan. Aku sih ya kurang research, pikirku dulu semua kampus ada jurusan pendidikannya e. Karena budheku juga tempat tinggalnya di dekat UGM, makanya aku memilih situ buat kuliah kalau mau jadi guru, tapi ternyata aku salah. Malu, tapi tak apalah.
Setelah lulus, aku mencoba mendaftar di UGM, jurusan kehutanan dan peternakan. Tidak tahu djrj betul, mau ambil peternakan tapi megang ayam sama ikan aja gak berani. Untungnya juga tidak jadi diterima, kalo diterima malah gapernah tak sentuh itu hewan hewan yang buat praktek, apalagi kalo alasannya bukan muhrim, sudah tidak masuk akal. Keduanya, gagal.
Lalu kemudian mencoba daftar di UIN Jogja dan IAIN Surakarta, sekarang sudah bertranformasi menjadi UIN Raden Mas Said. Aku mencoba daftar Pendidikan Biologi sebagai pilihan pertama, dan Pendidikan Bahasa Inggris. Alhamdulillah diterima di pilihan kedua. Tak banyak yang ku bayangkan dari jurusan itu.
Setelah melihat hasil pengumuman, aku senang bukan main, seperti aku telah memenangkan kehidupan pada saat itu.
Tapi semakin kesini, semakin tahu realita juga, bahwa dengan memilih jurusan pendidikan, yang kebanyakan akan menjadi guru, itu tidak akan membuatmu kayaa mennn, kalau cukup mungkin iya, tapi kalau yang sampai kaya raya berlimang harta itu sangat tidak mungkin, kecuali kalo punya usaha sampingan, depanan apa belakangan ehehe.
Ingin mengubah strategi, tapi sudah terlanjur masuk, ingin pindah jurusan sebenarnya diperbolehkan, tapi dengan syarat harus biaya mandiri, saat itu aku ga berani untuk mengambil keputusan itu.
Karena hidup ya terus berjalan, kuliah juga terus berlanjut. Seiring berjalannya waktu, aku mendapat pengetahuan dan pengalaman baru dari ukm yang aku ikuti, ukm seni rupa. Seperti membantu melihat dunia yang lain, dunia seni rupa, dunia yang belum pernah ku bayangkan sama sekali. Banyak mendapat ilmu dan teman baru diluar pendidikan formal.
Dan hingga pada suatu hari, seorang teman menawariku untuk menjadi guru ekstra lukis. Syaratnya tidak sulit, yang penting bisa mengajari anak anak menggambar. Tanpa berlama lama aku iyakan tawaran itu. Akhirnya, setelah itu aku menjadi guru, bukan guru biologi, guru agama atau guru bahasa Inggris, tetapi guru ekstra lukis, yang ilmunya aku dapatkan diluar pendidikan formal yang aku tempuh.
Kuharap itu tidak hanya berhenti setelah aku lulus, tetapi bisa berlanjut di jenjang yang lebih serius, di perguruan tinggi misalnya, amiiin.
Ya paling tidak kalo aku jadi pengajar, aku mengajar hal yang aku suka, menggambar salah satunya.
Komentar
Posting Komentar