Tempat duduk
Pagi itu, Sabtu legi, weekend yang menyenangkan. Aku biasanya mengunjungi Pasar Legi untuk sekedar jalan jalan atau melihat lihat barang barang bekas. Barangkali ada barang yang menarik untuk di beli dan bisa dijual lagi.
Menurutku, mengunjungi pasar loak, tidak hanya di Pasar Legi, itu semacam healing. Karena aku bisa melihat dan menemukan barang barang jaman dulu yang saat ini sudah tidak di produksi lagi. Ada berbagai macam, kalau disuruh menyebutkan satu satu aku juga tidak hafal.
Saat itu aku keliling tidak lama. Berangkat dari rumah setengah delapan, kemudian pukul setengah sepuluh aku memutuskan untuk beristirahat.
Di sebelah timur laut lapangan, ada angkringan. Aku berteduh dan memesan teh hangat. Sembari menunggu teh pesanan, tiba tiba datang mas mas dan langsung bilang padaku "mas, es teh setunggal", aku kaget dong, kemudian ku jawab kalo aku bukan penjualnya, tetapi ibuk yang berdiri agak jauh disebelahku.
Kemudian, aku mencoba mengoreksi diriku. Apa ada yang salah dengan penampilanku saat itu, sehingga aku dikira pedagang angkringan. Sebenarnya tidak ada yang salah juga dengan pedagang angkringan, cuma rada kaget saja saat itu.
Setelah melihat diriku kembali, ternyata saat itu aku memakai kaos oversize, sedikit ada lubang kecil di beberapa bagian, krah baju yang agak mulai melar, dan warna baju yang mulai luntur, juga sablonan kaos yang sudah pecah pecah, ditambah lagi aku memakai buckethat, kalo kata temenku sih itu topi pengemis, kurang ajar emang.
Hal tersebut bisa menjadi indikasi kenapa aku dikiria pedagang angkringan. Terlalu merakyat mungkin. Mungkin kalau waktu itu aku duduk di depan Bank BCA, lain lagi, bukan dikira pedagang angkringan, tetapi dikira pengusaha yang asetnya sudah milyaran dan mau setor tunai ratusan juta saat itu. Ah, semoga saja aku juga bisa seperti itu, punya aset milyaran dan rajin setor tunai ratusan juta tiap bulan. Ke depannya aku akan milih milih lagi deh kalau mau duduk, ehehe.
Komentar
Posting Komentar